Serangan Distributed Denial of Service (DDoS) bukanlah hal baru, tetapi di tahun 2024 jumlahnya melonjak drastis. Menurut laporan Gcore, total serangan mencapai 445.000 hanya dalam kuartal kedua, dengan serangan terbesar mencapai 1,7 terabit per detik (Tbps). Ini bukan sekadar angka, di baliknya ada bisnis yang lumpuh, transaksi yang gagal, dan pelanggan yang kehilangan kepercayaan. Dengan tren ini, bukan tidak mungkin 2025 akan menjadi tahun yang lebih menantang, terutama bagi industri keuangan.
Bank, perusahaan fintech, dan layanan keuangan lainnya menjadi sasaran empuk bagi penyerang. Alasannya sederhana karena sektor ini bergantung penuh pada layanan digital dan setiap gangguan bisa berdampak besar. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 12% dari total serangan DDoS menyasar industri keuangan yang menyebabkan operasional terganggu dan potensi kerugian finansial yang tidak sedikit.
Bayangkan jika sebuah bank digital tiba-tiba tidak bisa diakses selama berjam-jam. Nasabah tidak bisa melakukan transaksi, layanan pembayaran terganggu, dan kepercayaan pelanggan pun terancam. Ini bukan sekadar gangguan teknis, tapi ancaman nyata bagi keberlangsungan bisnis.
Dalam dunia keuangan, kepercayaan adalah segalanya. Pelanggan ingin merasa aman saat menyimpan uang dan bertransaksi secara digital. Namun, ketika sebuah layanan keuangan tiba-tiba tidak bisa diakses karena serangan DDoS, mereka mulai merasa cemas. Tidak hanya itu, jika data mereka ikut terancam, kekhawatiran semakin besar. Kejadian seperti ini bisa membuat pelanggan beralih ke layanan lain yang mereka anggap lebih aman sehingga menyebabkan kehilangan pelanggan dalam jumlah besar bagi perusahaan.
Serangan DDoS bisa menyebabkan layanan digital sebuah bank atau fintech lumpuh selama berjam-jam, bahkan berhari-hari. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh jutaan pelanggan yang bergantung pada layanan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Contohnya ketika seseorang yang ingin membayar tagihan listrik atau membeli tiket pesawat tetapi tidak bisa mengakses akun banknya. Keadaan seperti ini bisa memicu kepanikan massal dan menimbulkan reaksi negatif di media sosial yang pada akhirnya dapat mencoreng reputasi perusahaan.
Setiap detik layanan keuangan terganggu akibat serangan DDoS, perusahaan berpotensi mengalami kerugian besar. Selain itu, biaya tambahan untuk memulihkan sistem juga sangat tinggi. Perusahaan harus mengeluarkan dana untuk meningkatkan sistem keamanan, membayar denda karena ketidakpatuhan regulasi, serta menghadapi kemungkinan tuntutan hukum dari pelanggan yang merasa dirugikan. Semua ini membuat serangan DDoS menjadi mimpi buruk bagi industri keuangan.
Pemerintah dan otoritas keuangan memiliki peraturan ketat terkait perlindungan data dan kelangsungan layanan digital. Jika sebuah institusi keuangan tidak dapat memastikan sistemnya tetap aman dan bisa diakses oleh publik, mereka bisa dikenai sanksi berat. Ini bisa berupa denda dalam jumlah besar atau bahkan pencabutan izin operasional dalam kasus yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, menghadapi ancaman DDoS bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga persoalan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Memulihkan sistem setelah serangan DDoS bukan perkara mudah dan murah. Perusahaan harus berinvestasi dalam teknologi keamanan yang lebih canggih, memperkerjakan tim ahli keamanan siber, dan meningkatkan infrastruktur jaringan mereka. Semua ini menambah beban biaya operasional yang besar. Bahkan setelah sistem pulih, perusahaan masih harus bekerja keras untuk meyakinkan pelanggan bahwa layanan mereka aman dan dapat diandalkan.
Jenis serangan ini menargetkan aplikasi web, seperti platform digital dan layanan online. Berbeda dengan serangan DDoS konvensional yang hanya membanjiri server dengan lalu lintas data berlebih, serangan L7 lebih canggih karena mengeksploitasi celah keamanan dalam sistem aplikasi. Akibatnya, layanan tetap terlihat aktif, tetapi menjadi lambat dan sulit diakses.
Mirai botnet terkenal yang pernah mengacaukan internet beberapa tahun lalu, kini kembali dengan versi yang lebih canggih. Melalui pemanfaatan perangkat IoT yang kurang terlindungi, Mirai mampu meluncurkan serangan DDoS dalam skala besar. Industri keuangan yang mengandalkan perangkat digital harus lebih waspada agar tidak menjadi korban berikutnya.
Kecerdasan buatan (AI) bukan hanya digunakan untuk inovasi teknologi, tetapi juga menjadi alat bagi penyerang siber. AI dapat membantu mereka mengidentifikasi celah keamanan, merancang serangan yang lebih terarah, bahkan menciptakan deep fake untuk menipu sistem keamanan. Melalui kemampuannya yang terus berkembang, AI akan membuat serangan DDoS semakin sulit dideteksi dan ditangkal.
Selain motif finansial, beberapa serangan DDoS juga dilakukan atas dasar ideologi atau aktivisme digital. Kelompok hacktivist menargetkan berbagai sistem sebagai bentuk protes terhadap kebijakan atau isu sosial tertentu. Tahun 2025 diprediksi akan menyaksikan lebih banyak serangan jenis ini, yang tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga memengaruhi reputasi perusahaan.
Serangan DDoS bukan hanya meningkat dalam jumlah, tetapi juga dalam kecanggihannya. Industri keuangan harus bersiap menghadapi tantangan ini dengan strategi keamanan yang lebih matang. Dari serangan L7 hingga ancaman AI dan hacktivisme, perusahaan harus proaktif dalam melindungi sistem mereka. Pada akhirnya, keamanan siber bukan hanya tentang melindungi bisnis, tetapi juga menjaga kepercayaan pelanggan di era digital yang semakin kompleks. Lindungi bisnis Anda dari serangan siber dengan solusi keamanan terbaik. Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut!